Coolture: Kolaborasi Budaya, Kreativitas, Keberlanjutan, dan Fashion

Limbah tekstil semakin meningkat seiring dengan maraknya trend fast fashion, yaitu pergantian pakaian berlangsung cepat untuk mengikuti mode terbaru. Akibatnya, banyak pakaian cepat dibuang dan menambah volume limbah tekstil yang sulit didaur ulang. Trend ini memberikan dampak buruk bagi lingkungan.

Mahasiswa Master of Business Administration, Fakultas Ekonomika dan Bisnis, Universitas Gadjah Mada (MBA FEB UGM) Iman Kahfi Aliza, yang biasa dipanggil Kahfi ini mempunyai inisiatif memanfaatkan limbah tekstil dengan membuat brand Coolture. Ia mengelola sampah tekstil khususnya batik, menjadi barang bernilai tambah atau added value dengan menghasilkan produk fashion yang unik, digemari banyak anak muda, sekaligus mendukung keberlanjutan lingkungan yang nyata.

Kahfi saat ini menempuh semester 2 di MBA FEB UGM pada konsentrasi Operations, sebagai owner Coolture ia memulai dari kegemarannya dalam menggambar. “Saya memulai bisnis ini ketika saya Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Ternate dan senang gambar, lalu terinspirasi dengan menggabungkan budaya Ternate dan Jawa dalam fashion, menggunakan batik di Jawa dan kebudayaan dari Ternate. Kebetulan saya punya temen pengrajin batik di Solo dan jadi tercipta Coolture,” ujar Kahfi.

Pada proses desain produksi Coolture, Kahfi juga menghadapi tantangan dalam mengelola kain produksi Coolture. Kahfi menceritakan dalam pembelian limbah tekstil harus teliti. Kata Kahfi, “Kita biasanya beli kain sisa per-kg dan kita tidak tahu dapat apa saja, dan biasanya ada yang berlubang, warna nya tidak sesuai, atau ada noda jadi tantangan nya adalah bagaimana kita bisa teliti melihat mana yang berlubang dan mana yang masih bisa digunakan untuk proses produksi”.

Selain itu, Coolture mengusung konsep limited edition, yang menghadirkan pola-pola unik pada setiap musim. Pendekatan ini menciptakan kesan eksklusif yang membuat setiap koleksi selalu dinanti sekaligus memberikan makna mendalam bagi pemiliknya. Kahfi juga menceritakan, “Coolture memiliki visi yang berbeda dari para pengrajin batik pada umumnya yang cenderung berfokus pada pakaian untuk acara-acara penting atau formal”. Menurut Kahfi pasar Coolture menjadi lebih luas, karena anak muda bisa memakainya namun masih mengikuti trend, tentunya dengan dikombinasikan dengan budaya batik.

Selain berfungsi sebagai entitas bisnis, Coolture juga berkomitmen pada pemberdayaan komunitas dengan melibatkan ibu-ibu Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (PKK) sebagai tenaga produksi. Hal ini menjadikan Coolture memberikan dampak sosial yang nyata.

“Selain dari nilai desain, kami juga memiliki nilai pemberdayaan masyarakat sekitar, yaitu melibatkan ibu-ibu PKK dalam pengerjaan jahit,” ujar Kahfi.

Kahfi memiliki angan untuk terus berkembang, kolaborasi dengan seniman dan UMKM sebagai langkahnya kedepan. “Kami ingin terus membesarkan Coolture, mengedukasi masyarakat tentang fashion ramah lingkungan, dan menjadikan batik terasa lebih santai tanpa kehilangan maknanya,” tutup Kahfi.

Cita-cita Coolture di masa mendatang adalah untuk memperkenalkan dan mengaplikasikan kekayaan batik dari seluruh daerah di Indonesia. Harapannya setiap motif dan cerita budaya lokal dapat lebih dikenal dan dihargai, baik di dalam negeri maupun mancanegara. Coolture saat ini masih memfokuskan upayanya pada batik Jawa, khususnya batik dari Solo, yang dikenal dengan kehalusan motif dan keindahan filosofinya. Fokus ini menjadi langkah awal untuk membangun fondasi yang kuat sebelum merambah ke daerah lain.

 

Reporter: Aldanu Tagor Hutasoit, Petra Rossa Angelika Asa, Virna Rania
Editor : Ayu Aprilia